Min Ribrick ingin membahas mengenai sebuah pertanyaan yang simple, namun dapat menandakan tingkat kemakmuran negara kita.

“Apa bedanya sarjana Indonesia dengan sarjana Singapura ?”

Jawabnya adalah:

“Sarjana Indonesia, begitu lulus kuliah akan bertanya, saya mau kerja apa ya?”

“Tapi, kalau sarjana Singapura, begitu lulus kuliah bertanya, saya mau bisnis apa ya?”

(Clem Onojeghuo/Pexels)

Memang lagi-lagi ini semua tergantung pada circumstance atau keadaan dan faktor lingkungan sosialnya juga. Orang-orang tentu tidak akan memulai bisnis ketika pemahaman dia akan bisnis saja tidak tahu menahu. Kalau Singapura memang karena dia adalah negara yang jebolan pebisnisnya banyak, kurikulum administrasi bisnisnya itu bahkan diagungkan oleh banyak mahasiswa di seluruh dunia, melalui National University of Singapore, Nanyang Technological University, hingga Singapore Management University.

Karena berbekal pengalaman yang banyak dari para pakar yang sudah berkecimpung di dunia bisnis dan finansial, maka dari itu mereka sangat berani untuk mengambil langkah memulai bisnis bersama rekan kerja dan membentuk sebuah startup. Startup tersebut tentunya akan lebih mudah mendapatkan pendanaan dikarenakan dibuat oleh orang-orang berbakat yang masuk ke universitas top dunia dengan segudang relasi atau koneksi yang membantu perkembangan bisnis.

Nah, lain cerita kalau di Indonesia. Dari awal, kurikulum sekolah memang tidak pernah mengajarkan kita untuk hal-hal yang bersangkut paut dengan praktisi kehidupan. Seperti misalnya, sekolah tidak pernah mengajarkan bagaimana perhitungan pajak, informasi edukasi mengenai saham dan pasar modal, lalu bagaimana cara bank bekerja, dan lain-lainnya. Bahkan kewirausahaan yang praktiknya langsung membuat bisnis saja tidak ada. Justru malah subjek Prakarya dan Kewirausahaan (PKWU) tidak mengajarkan lebih detail mengenai analisis modal, bagaimana cara mendapatkan funding, dan lain-lain.

Lagi-lagi, pembekalan Indonesia untuk menghasilkan pebisnis hebat memang tidak kompeten. Alhasil, banyak masyarakat Indonesia yang memilih untuk fokus bekerja saja. Kalau ditanya ingin bisnis apa, pasti jawabannya selalu monoton. “Mau buka warung aja, mau buka bisnis makanan ini, mau buka bisnis laundry, dll.” Yang mana memang, itu bisnis yang sudah biasa mereka lihat sehingga ingin mencobanya. Tetapi, banyak yang tidak tahu bahwa terdapat banyak bisnis yang sangat profitable namun kuenya dimonopoli hanya karena saingannya sedikit, seperti misalnya dalam bisnis digital berbasis subscription sharing, kemudian bisnis lainnya yang anti-mainstream biasanya tidak akan terpikirkan.

Itulah sepenggal cerita yang mau tidak mau, suka atau tidak suka memang menjadi suatu realita pola pikir para sarjana kita. Pertanyaan semacam itu, seolah mendapat dukungan kuat dari data statistik yang dipublikasikan Kontan, yang menunjukkan bahwa jumlah pengusaha UMKM di Indonesia baru mencapai 3,47% dari jumlah penduduknya, rasio ini kalah jauh dari negara tetangga kita, seperti misalnya Singapore memiliki jumlah pengusaha sebanyak 8,76% dari jumlah penduduknya, Thailand dengan rasio 4,26%, dan Malaysia 4,74 persen. Sementara suatu negara akan memiliki pondasi perekonomian yang kuat dan berpotensi menjadi negara maju apabila jumlah penggiat wirausaha mencapai 4 persen.

Apalagi di negara adidaya seperti China mempunyai jumlah pengusaha hingga 10 persen dari total penduduknya yakni mencapai hingga 100 juta orang dan telah menghidupi serta membuka lapangan pekerjaan yang banyak. Belum lagi ditambah Amerika Serikat yang jumlah pengusahanya mencapai 12,5% dari total penduduknya dan menjadi magnet bagi para imigran dari India, Bangladesh, Pakistan, dan sejumlah negara berkembang lainnya.

Lalu cobalah kita perhatikan, jika ada suatu seminar atau pameran wirausaha UMKM yang diadakan di suatu tempat, walaupun sudah dipromosikan dengan gencar, namun biasanya akan mendapat antusiasme yang relatif ‘dingin’ dari para pengunjungnya, walaupun tidak semua tempat pameran sepi pengunjung. Namun apa yang terjadi jika ada suatu event Job Fair, atau pameran ajang pembukaan lowongan kerja? Wah, tanpa dikomando, tanpa digembar — gemborkan, pesertanya bisa dipastikan akan selalu membludak, penuh sesak, saling berebut untuk melamar pekerjaan.

Ya, memang mayoritas penduduk kita, lebih merasa aman dan nyaman dengan bercita — cita menjadi seorang karyawan. Lalu apakah itu salah? Jelas tidak ada yang salah dalam suatu pilihan hidup, itu semua adalah hak individu yang mesti dihargai. Menjadi seorang karyawan yang baik dan berakhlakul kharimahpun merupakan suatu pilihan mulia. Namun jika kita berbicara mengenai konteks, bagaimana meningkatkan kemandirian dalam perekonomian bangsa Indonesia, maka penggalakkan program pemberdayaan UMKM adalah satu- satunya solusi yang dapat menjawab permasalahan roda perekonomian dan lumbung ketidakadilan negeri ini.

Menurut data statistik 2011, jumlah sarjana yang menganggur lebih dari 2.000.000 orang. Coba bayangkan, jika 10% saja dari jumlah mereka, yaitu sebanyak 200.000 orang menjadi entrepereneur dengan membuka suatu bisnis, maka jika diambil rata — rata 1 orang bisa membuka 2 lapangan kerja, maka sudah bisa membuka 400.000 lapangan kerja baru. Bagaimana kalau lebih dari 10% sarjana yang menjadi entrepreneur ? Wah, maka pemerintah tidak perlu repot — repot memikirkan nasib 10 juta pengangguran di Indonesia ini.

Oleh sebab itu, untuk meningkatkan geliat wirausaha UMKM di Indonesia, diperlukan dukungan banyak pihak, baik pemerintah, yang bisa melakukan penyegaran materi entreperenurship di kurikulum bangku sekolah dasar hingga kuliah, mempermudah akses pasar, permodalan, pelatihan, dan pendampingan usaha. Lalu peranan orang tua juga sangat penting, dalam memberikan arahan dan support kepada putra–putrinya, untuk bisa menjadi seorang entrepreneur. Karena justru biasanya orang tualah yang terkadang “menghalangi” niat sang anak untuk berwirausaha, mereka akan lebih “bangga” jika putra– putrinya menjadi karyawan yang mendapatkan penghasilan tetap dan tunjangan di hari tua.

Ya, maka mulai sekarang, mari bersama kita tingkatkan cita — cita luhur dalam hidup kita, dari hanya sekadar “ingin hidup dengan aman” menjadi “ingin hidup dengan memberi manfaat bagi banyak orang dan lingkungan”. Marilah kita dukung bersama, gerakan entrepreneurship bagi keluarga dan bangsa kita, demi masa depan Indonesia yang lebih baik. #UMKMSolidaritas #UMKMNaikKelas