Entrepreneur : Buat Rencana Hidup Anda Sendiri — Anda pasti sudah kenal siapa Rangga Umara, pemilik Rumah Makan Pecel Lela ini memiliki perjalanan hidup yang sangat inspiratif, anda bisa mendapatkan motivasi dari kisah perjalanan hidupnya untuk sukses di dunia Entrepreneur. Simak artikel berikut ini tentang entrepreneur,buat rencana hidup anda sendiri.
Centimiliarder Gautam Adani dari India pernah berkata bahwa ia memulai berbisnis karena tidak ingin lagi ada orang yang menyuruh-nyuruh dia.
Entrepreneur: Buat Rencana Hidup Anda Sendiri
Pilihan hidupnya untuk menjadi entrepreneursempat membuat keluarga dan teman-temannya ragu. Namun, pengalaman tiga kali di-PHK membulatkan tekad Rangga Umara untuk berbisnis. Berbagai bidang usaha pun ia tekuni. Kegagalan demi kegagalan pernah ia rasakan.Toh, pria kelahiran Bandung, 30 Januari 1979 ini tak pernah merasa kapok, apalagi patah arang. Dari pengalaman jatuh-bangun itulah ia memiliki energi berlebih untuk bangkit, survive, hingga akhirnya sukses menggeluti bisnis kuliner.
Dengan mengusung bendera PT Lela Internasional, Rangga sukses membuka puluhan cabang Restoran Pecel Lele Lela di Indonesia dan luar negeri. “Padahal, saya tidak bisa memasak,” tutur Rangga di Jakarta, belum lama ini.
Ternyata kegigihan dan keuletan Rangga bersumber pada keyakinannya bahwa sesorang harus merencanakan sendiri kehidupannya, bukan berharap atau bergantung kepada orang lain. “Buatlah rencana hidupmu sendiri atau seumur hidup kamu akan menjadi bagian dari rencana hidup orang lain,” kata Rangga, menuturkan filosofi hidup yang dipegangnya. Berikut wawancara dengannya.
Bisa diceritakan bagaimana perjalanan karier Anda sebelum memutuskan untuk berbisnis restoran?
Sebelum memutuskan berbisnis, saya dulu bekerja di kantor developer. Tapi karena proyeknya tersendat, kantor ini terpaksa merumahkan sebagian besar karyawannya, termasuk saya. Saat teman-teman saya yang lain membuat lamaran untuk diajukan ke perusahaan-perusahaan lain, saya berpikir kalau saya melamar-lamar lagi, ujung-ujungnya pasti di-PHK lagi. Padahal, saya lebih senang bekerja di perusahaan-perusahaan yang belum establish.
Biasanya orang lain memilih bekerja di perusahaan yang mapan, kenapa Anda memilih sebaliknya?
Karena saya berharap di perusahaan-perusahaan itu bisa belajar lebih banyak. Biasanya kalau sudah bekerja di perusahaan yang establish maka kita hanya menjadi bagian dari sistem. Sedangkan risiko bekerja di perusahaan yang belum berkembang adalah rawan PHK. Kalau terakhir kali saya melamar lagi, sudah pasti kena PHK yang tertunda.
Anda sudah berapa kali di-PHK?
Sudah tiga kali kena PHK di perusahaan yang berbeda. Ya karena itu tadi, perusahaannya belum berkembang. Akhirnya dari situ, saya putuskan untuk berbisnis. Tiga kali di-PHK membuat saya memperoleh pencerahan agar menjadi seseorang dengan sebaik-baiknya jati diri, di mana nantinya jati diri kita akan kelihatan. Dengan membaca banyak buku yang menginspirasi, itu menjadi modal saya untuk menemukan jalannya.
Anda langsung memilih buka usaha pecel lele?
Dulu saya kepikiran untuk bisnis bidang komputer karena biasanya untuk berbisnis disesuaikan dengan bidang pendidikan. Nah, kalau latar belakang pendidikan saya komputer, apalagi kalauenggak buka warnet atau rental komputer? Itu sudah saya coba sebelumnya, tapi bagi saya justru enggak menantang. Waktu di-PHK terakhir, saya punya buku catatan kecil yang selalu saya bawa ke mana-mana, saya sebut dream book. Di dalam buku itu ada keinginan saya untuk punya restoran, padahal saya sama sekali enggak bisa masak.
Anda tidak bisa masak, tapi berani berbisnis kuliner?
Saya cari orang yang bisa masak. Saya berbisnis pecel lele mulai tahun 2006. Waktu memutuskan untuk buka restoran, saya harus mencari konsep yang pas karena saya melihat di Jakarta banyak orang yang menjual makanan, tapi enggak semuanya bisa bertahan.
Saya melihat yang bisa bertahan adalah mereka yang punya konsep atau idealisasi yang tepat. Misalnya, nasi goreng, bakso, dan makanan-makanan yang umumnya sudah dikenal orang. Biasanya yang menghadirkan konsep unik atau aneh, hanya muncul sesaat, kemudian hilangnya juga cepat. Apalagi saya punya prinsip harus mampu mempertahankan pelanggan.
Akhirnya mata saya tertuju pada warung pecel lele. Warung pecel lele ini ada di mana-mana. Saya berkeliling Indonesia dan hampir di semua tempat ada warung pecel lele. Ini tanda-tanda bahwa market pecel lele itu luas.
Berarti Anda suka pecel lele juga?
Saya suka lele malah sejak kuliah. Tadinya enggak suka, tapi setelah mencoba ternyata enak, akhirnya ketagihan. Saya juga melihat bahwa sebenarnya lele masih bisa dikembangkan, bahkan kita enggak perlu capei-capai memperkenalkannya lagi. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana membuat masakan lele dengan kemasan dan bentuk berbeda, tidak sama dengan lele-lele yang ada pada umumnya. Sampai akhirnya saya mantap berbisnis pecel lele.
Kenapa pilih nama Lele Lela?
Setelah memutuskan untuk mulai bisnis pecel lele, saya mulai mencari nama untuk bisnis saya ini. Akhirnya saya terinspirasi oleh nama merek Coca-Cola, yang akhirnya memunculkan nama Lele Lela dan nama ini sebenarnya ada artinya. Sebelumnya banyak yang menyangka kalau Lele Lela itu yang punya perempuan, ternyata perempuannya berjenggot.
Nah, nama Lela itu singkatan yang artinya “lebih laku”. Nama ini juga menjadi doa yang positif untuk bisnis saya. Jangan memulai sesuatu dengan hal-hal yang negatif, seperti bagaimana nanti kalau enggak laku? Tapi mulailah segala sesuatu dengan hal-hal yang positif, misalnya bagaimana kalau nanti bisa sukses dan cabangnya ada di seluruh Indonesia?. Saya sih mikir-nya yang enak-enak saja.
Perjalanan awalnya seperti apa?
Awal saya membuka restoran adalah dengan modal Rp 3 juta, sewa tempat Rp 250.000 per bulan, kemudian beli etalase bekas. Saya mulai bisnis ini di daerah Pondok Kelapa (Jakarta Timur) dengan semangat tinggi. Tapi hasil yang saya peroleh awalnya malah membuat saya ragu-ragu dengan pilihan saya sebagai pengusaha. Kata orang, menjadi pengusaha itu enak, duitnya banyak. Tapi ternyata sama sekali enggak ada enak-enaknya, yang ada malah minus, rugi, enggak ada yang beli, harus bayar gaji karyawan tiap bulan dan saya sendiri enggak gajian. Kondisi ini berlangsung dari bulan pertama sampai bulan kelima. Saya sempat berada di fase persimpangan, meneruskan bisnis ini atau balik lagi menjadi karyawan, melamar lagi ke perusahaan.
Apa yang membuat Anda memutuskan untuk meneruskan bisnis?
Nah, saat di fase persimpangan itu, saya merenungkan semuanya. Mengevaluasi setiap tindakan yang saya ambil, di mana saja yang salah. Orang bilang produknya enak dan setelah dievaluasi, ternyata lokasi yang saya pilih tidak strategis, tidak di pinggir jalan. Jadi, banyak orang yang tidak tahu kalau saya membuka restoran pecel lele. Yang tahu ya cuma karyawan dan keluarga saja. Dulu orang bilang asal makanannya enak, orang-orang pasti mencari. Hal itu ternyata tidak berlaku karena saat ini yang penting adalah bagaimana ketersediaan produk kita di dekat pelanggan.
Akhirnya karena tidak punya modal untuk mencari lokasi baru di pinggir jalan, saya mulai menginisiasi “gerakan warung sepi”. Ini gerakan di mana saya mulai mencari warung-warung yang sepi pembeli, tapi mereka berada di lokasi strategis.
Biasanya warung mereka sepi bukan karena enggak ada pasarnya, tapi karena mismanagement. Setelah saya amati satu bulan, saya dapat lokasi yang tidak jauh dari lokasi lama saya. Saya pun mulai memberikan penawaran dan berkali-kali ditolak. Sampai akhirnya ada yang mau dan ini menjadi pembelajaran bagi saya tentang bagaimana melakukan persuasi kepada orang. Bayangkan kalau saya menyerah, Lele Lela pasti enggak ada.
Di lokasi baru ini, saya hanya meneruskan warung punya pemilik sebelumnya. Bahkan sayaenggak perlu sewa tempat dan saya boleh pakai seluruh peralatannya. Saya hanya dimintai setoran setiap bulan saja. Begitu deal dan berjalan, ternyata perubahannya ibarat langit dan bumi. Penghasilan yang saya peroleh pun lebih besar dari gaji yang saya terima saat masih jadi karyawan.
Akhirnya saya semakin punya keyakinan untuk merencanakan kehidupan saya. Buat rencana hidupmu sendiri atau seumur hidup kamu akan menjadi bagian dari rencana hidup orang lain. Meski kita super-rajin, kalau enggak punya rencana hidup, maka hidup kita akan selalu direncanakan orang.
Saya sekarang punya rencana hidup. Kalau sekarang punya satu cabang dengan penghasilan Rp 3 juta per bulan maka dalam satu tahun saya harus bisa punya 10 cabang. Rencana jangka panjang dalam lima tahun harus ada 100 cabang. Keyakinan itu yang membawa saya bisa survivesampai sekarang. Karena pada akhirnya sekarang bukanlah semata tentang hitungan berapa cabang dan materi lagi, melainkan bagaimana bicara tentang kelanggengan, improvement, dan membawa bisnis ini lebih baik lagi.
Sejak kapan Anda mendirikan PT Lela Internasional?
Saya mulai menjadikan restoran ini sebagai perseroan terbatas (PT) pada tahun 2010, di mana saya mulai membangun korporasi. Tapi yang paling banyak diapresiasi adalah bahwa Pecel Lele Lela ini bukan sekadar bergerak di bidang makanan, tapi bagaimana membangun sebuah perusahaan, korporasi yang memiliki visi jangka panjang. Dengan slogan “Kontennya Lokal, Visinya Global”, saya ingin perusahaan ini kuat dan senantiasa memberi manfaat kepada semua pihak yang terkait dengan usaha ini.
Pada 2014 saya meluncurkan maskot “Kapten Lele” yang menjadi simbol perubahan untuk memberikan ruang yang baru dalam bisnis ini. Mudah-mudahan nantinya bisa disandingkan dengan Ronald McDonald, Colonel Sanders. Itu mimpi saya.
Ada yang bilang, ngapain bisnis makanan, lima tahun juga jenuh. Saya yakin enggak ada istilah pasar jenuh, yang ada adalah pelaku pasar yang jenuh karena enggak punya visi jangka pajang. Jadi, impian yang kuat akan membuat kita terus bertahan di saat yang lain banyak yang mundur.
Anda punya gaya kepemimpinan seperti apa?
Saya lebih ke paternalistik, kekeluargaan. Saya membangun bisnis ini sebagai usaha bersama. Pecel Lele Lela ini adalah value bagi saya, tim, dan franchise. Kalau sudah bicara value maka tidak perlu lagi bicara tentang birokrasi yang berbelit-belit, tidak perlu prosedur kontrol yang rumit, cukup menyadari saja kalau ini semua adalah milik kita bersama.
Siapa tokoh yang memengaruhi Anda?
Saya suka gayanya tokoh-tokoh yang menjauhi konflik, memiliki relationship dalam bisnis. Kalau di sejarah Jawa, saya suka gaya kepemimpinan Panembahan Senopati. Kalau kepemimpinan di perusahaan, saya suka Richard Branson karena dia fair. Sedangkan tokoh Indonesia, saya suka Gus Dur karena dia pluralis.
Di mana saja Anda berekspansi?
Hampir di semua kota besar di Indonesia sudah dibuka. Justru sekarang persiapan kami untuk masuk ke kawasan timur Indonesia. Karena demand-nya belum ada, maka seiring dengan brandyang mulai dikenal, kami akan segera masuk ke sana.
Sekarang kami sedang konsentrasi untuk pengembangan Pecel Lele Lela yang sudah dibuka di Malaysia pada 2012. Kalau target ekspansi dalam lima tahun ke depan, setiap tahunnya akan buka 20 outlet. Rencananya, kami juga akan membuka di Vietnam, Singapura, dan Arab Saudi. Sekarang masih dalam penjajakan. Harapannya bisa tahun ini atau tahun depan.
Kiat bisnis Anda?
Melalui penataan sistem legal formal yang disesuaikan dengan masing-masing aktivitas operasional. Ada sinergi antara kegiatan perusahaan dengan operasional. Sampai saat ini kami sudah menjalankannya mulai dari hulu hingga hilir, kerja sama dengan petani, dan mengadakan konsep-konsep pelatihan sumber daya manusia (SDM). Karena yang dihadapi pada industri ini adalah masalah SDM, kami enggak tahu ke mana Lele Lela ini akan berjalan. Yang jelas, kami memiliki cara agar bisnis ini bisa bertahan lama. Kami melatih SDM agar mereka memiliki keterkaitan dengan kelangsungan bisnis ini.
Kendala yang Anda hadapi?
Kendala banyak, tapi pada akhirnya adalah tentang bagaimana memperkuat bisnis ini. Prinsip saya, uang itu bisa dicari, tapi bagaimana kita memberikan manfaat, mencerdaskan orang lain, melatih yang tidak bisa menjadi bisa, yang tidak ahli menjadi ahli. Nah, itu tantangannya. Jadi, tidak sekadar mencari uang dan uang saja, melainkan bagaimana akhirnya bisnis ini bisa mengembangkan SDM, karena menurut saya pada akhirnya finansial akan mengikuti.
Bagaimana Anda melihat bisnis kuliner secara umum?
Dari pidato Ibu Mari Elka Pangestu (menteri pariwisata dan ekonomi kreatif/menparekraf), potensi di bisnis kuliner luar biasa. Perputarannya bisa Rp 240 triliun. Misalnya bakso, ada sekitar 2,5 juta pedagang bakso yang sbisa memperoleh Rp 400.000 sehari. Bahkan pecel lele saja bisa Rp 10 miliar hanya di Jabodetabek. Ini pasar yang sangat besar, tinggal bagaimana menyeriusinya.
Cara Anda menyeimbangkan pekerjaan dan keluarga?
Saya sekarang malah lebih banyak bersama keluarga. Bahkan, saya sudah pulang pada sore hari. Sekarang jauh lebih seimbang karena pagi saya beraktivitas, siang atau sore hari bersama keluarga. Waktu luang biasanya saya habiskan kalau tidak dengan teman-teman, ya bersama anak-anak saya.
Bersama anak-anak, saya selalu melihat energi baru. Saya seperti di-charge terus. Mendengarkan mereka bercerita juga menjadi tantangan bagi saya karena saya harus memahami mereka dengan bahasa mereka. Kedua anak saya laki-laki, masing-masing berusia tujuh tahun dan lima tahun. Itu golden moment mereka, tahu-tahu mereka sudah besar saja.
Apa obsesi Anda?
Tidak pernah berhenti. Pecel Lele Lela ini menjadi bisnis yang tak pernah selesai, terus belajar untuk menjadi lebih baik. Meski saya tidak ada, Lela tetap berjalan.
Filosofi hidup Anda?
Fokus. Hanya dengan fokus, batu menyerah pada setetes air. Meski godaan untuk membuat bisnis lain banyak, saya selalu mencoba untuk fokus. Tantangan di bisnis ini masih banyak, tidak seputar kuliner lele saja.
Cara Anda memandang hidup ini?
Hidup ini bermanfaat bagi orang. Pada akhirnya, yang saya kejar bukan materi semata, tapi manfaat bagi diri sendiri dan juga bagi orang lain.