Bikin Produk Ramah Lingkungan atau Produk yang Menyesatkan? Lihat 17 Variabel Ini
Jika kamu pernah ngescroll media sosial dan menemukan campaign dari institusi atau aktivis pendukung penghijauan lingkungan pastinya ada nih salah satu di antara 17 yang digubris. Belum lagi, perusahaan-perusahaan (brands) saat ini memasarkan produk mereka dengan label yang diklaim “eco-friendly” atau ramah lingkungan. Maksudnya apa ya? Dan dewasa ini juga kita dihadapkan pada permasalahan label produk “hijau” serta “sustainable”.
Walaupun konsep sustainable itu sendiri sudah sangat ideal, namun pada aplikasinya, definisi ini masih sering dibingungkan oleh orang-orang. Terutama, para tenaga pemasar yang menggunakan istilah ini untuk menaikkan emosi dan jiwa dari “Amal Baik” pada konsumen. Makna pesan dalam pemasarannya lebih mengarah kepada ambiguitas dan membingungkan, dan tentu saja min Ribrick mengutuk iklan palsu (false advertising), selain karena hal tersebut membahayakan planet Bumi kita, iklan palsu juga salah satu bentuk penyelewengan kepercayaan publik.
Lalu, bagaimana caranya agar kita mengetahui brand mana yang sustainable? Apa yang membuat mereka sustainable? Dan bagaimana cara perusahaan-perusahaan shift atau bergerak ke arah perubahan demi lingkungan yang sustainable?
Langkah pertama adalah kamu harus benar-benar mengerti sustainability atau keberlangsungan yang mana sangat jauh dimaknai dari sumber daya ataupun istilah eco-friendly. Sustainability lebih mengarah kepada beberapa variabel, kalau dalam gambar di atas kan ada 17 variabel. Nah, fokus utama sustainability itu mengarah pada bidang 7, 11, 13, 14, dan juga 15.
Untuk menguak misteri dari model-pemasaran-tidak-jujur, kamu harus dapat melihat produk dari brand itu dengan mata kepala kamu sendiri dan melakukan pengetesan pada produk itu. Mengapa? Hal ini dikarenakan terdapat perbedaan antara perusahaan yang ‘sustainably aware’ dengan perusahaan yang sadar mereka sustainable karena frameworknya sudah ada di situ.
Jadi, perusahaan mana yang kita bicarakan? Di Indonesia sendiri ada banyak sekali perusahaan dengan model pemasaran tak jujur dan tidak berkesinambungan seperti Garuda Indonesia yang mempunyai atau mendukung campaign penghijauan seperti Earth Hour. Mereka hanya omong kosong, tapi pada kenyataannya tidak ada aksi nyata dari perusahaan untuk mengurangi carbon footprint atau minimal berkontribusi pada kampanye yang sebenarnya. Perusahaan-perusahaan lain pun ada yang menggunakan istilah sustainable tetapi dalam produk atau jasa yang mereka tawarkan tak ada variabel sustainability sama sekali.
Untuk mengetahui lebih lanjut perbedaan antara greenwashing atau cuci otak dalam bentuk kampanye lingkungan dengan produk sustainable adalah adanya transparansi perusahaan. Transparansi antara perusahaan dengan konsumen dan tenaga pemasar merupakan fundamental penting dalam menjaga relasi baik dan mendatangkan retainer. Apabila kampanye produk dinilai tidak sesuai dengan aksi korporat, hal ini bisa dinilai fatal karena perusahaan tidak berani membuka transparansi maksud dan tujuan kampanye mereka.
Jika kamu ingin mengerti bagaimana caranya membuat perusahaan kamu sustainable, bukan dari model bisnis yang berkesinambungan, melainkan produk yang sustainable dan mematuhi aturan “ramah lingkungan” dari United Nations Sustainable Development, maka ada baiknya kamu memulai dari intin dari sebuah bisnis itu sendiri. Pertama, eksaminasi atau analisis nilai-nilai dan kultur perusahaan, dan goals mana yang sustainable menurut kamu. Dari situ, kamu dapat melakukan hal-hal kecil seperti membuat ruangan kerja yang lebih ramah lingkungan. Atau membuat packaging produkmu menggunakan bahan yang ramah lingkungan. Sekarang, konsumen semakin melek dengan teknologi dan paham akan pentingnya produk ramah lingkungan, belum terlambat untuk meraih “kepercayaan konsumen”, karena ingat, konsumen itu nomor satu.